Ketergantungan Obat
Dalam menjaga kesehatan, tidak jarang kita harus berinteraksi dengan obat-obatan. Sayangnya, ketergantungan seringkali menjadi momok. Belum lagi mitos yang beredar dalam masyarakat bahkan keluarga kita jika obat dapat merusak ginjal. Namun, perlu dicatat walau sebagian besar obat melalui proses akhir pada ginjal, tidak semua obat bersifat merusak ginjal maupun menimbulkan ketergantungan. Dan ketergantungan adalah proses yang kompleks dan panjang. Mari kita bahas satu persatu!
Apa itu Ketergantungan Obat?
Ketergantungan obat terjadi ketika seseorang mengembangkan kebutuhan fisik atau psikologis terhadap suatu zat atau obat tertentu. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ketergantungan obat, dan ini bervariasi tergantung jenis obat dan karakteristik individu. Beberapa penyebab umum ketergantungan obat antara lain:
- Efek Psikologis
Beberapa obat memiliki efek psikologis yang dapat memberikan sensasi puas atau senang karena hilangnya keluhan. Orang cenderung mengulang penggunaan obat untuk kondisi demikian.
- Penggunaan Berulang
Penggunaan berulang obat dalam jangka waktu yang lama dengan dosis tidak terkontrol meningkatkan risiko ketergantungan. Terutama pada obat yang bersifat adiktif.
- Faktor Genetik dan Keturunan
Faktor genetik berperan dalam kecenderungan seseorang ketergantungan obat. Jika ada riwayat keluarga dengan masalah ketergantungan, risikonya meningkat.
- Toleransi Terhadap Obat
Toleransi berkembang ketika tubuh menjadi terbiasa dengan suatu obat, sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai efek yang sama. Akhirnya meningkatkan risiko ketergantungan.
- Kondisi Mental dan Emosional
Beberapa orang mungkin menggunakan obat sebagai pelarian atas kondisi mental atau emosional, seperti stres, kecemasan, atau depresi. Pola yang demikian memperkuat risiko ketergantungan.
- Faktor Sosial dan Lingkungan
Faktor sosial, seperti tekanan dari teman atau lingkungan ternyata juga berperan. Tidak jarang mereka berkontribusi untuk mendorong konsumsi berlebih atau malah menghentikan konsumsi obat sebelum waktunya.
Cek Risiko Ketergantungan pada Logo
Logo pada kemasan obat patut menjadi perhatian tersendiri. Logo lingkaran berwarna ini bukan hanya sekadar identitas merek, tapi juga membawa informasi penting terkait status obat. Terkait obat kimia yang beredar di apotek ada 3 logo, yaitu lingkaran hijau, biru dan merah dengan huruf K. Beda dengan logo obat tradisional atau herbal yang memiliki logo tersendiri.
Lingkaran hijau adalah obat yang dapat dibeli bebas tanpa resep dari dokter dengan tingkat ketergantungan yang minimal. Lingkaran biru adalah obat bebas terbatas yang dapat dibeli tanpa resep. Namun penggunaan wajib sesuai dosis supaya tidak menimbulkan ketergantungan. Lingkaran merah dengan huruf K artinya obat keras dengan kandungan antibiotik atau psikotropika. Obat berlogo ini wajib menggunakan resep dan harus dalam pengawasan dokter. Tidak hanya risiko ketergantungan, namun juga risiko resisten yang cukup tinggi jika digunakan asal-asalan.
Pertimbangan Dokter Terkait Dosis Obat
Ada banyak sekali pertimbangan yang sebenarnya tidak terlihat langsung oleh kita ketika dokter memberi resep atau pengobatan terkait kondisi kita. Dokter tentunya mempertimbangkan faktor, seperti berat badan, usia, serta riwayat kesehatan dan riwayat / respons tubuh kita terhadap pengobatan. Sebaiknya kita aktif berkomunikasi dengan dokter terkait tujuan pengobatan, efek samping yang mungkin terjadi, dan bagaimana cara penggunaan yang benar.
Penghitungan dosis obat adalah proses penting dalam memberikan pengobatan yang efektif dan aman kepada pasien. Walaupun kadang terlihat praktis, dokter merumuskan dosis menggunakan prinsip farmakologi. Artinya, pemberian dosis yang aman harus melalui beberapa pertimbangan berikut:
- Perolehan Informasi Pasien: berat badan, usia, kondisi kehamilan dan menyusui, kondisi medis khusus, serta reaksi alergi. Ada beberapa kategori obat yang tidak bisa ditawar pada kondisi tertentu.
- Penentuan Dosis Harian Maksimum: batasan dosis aman berdasarkan panduan medis dan informasi produsen.
- Pertimbangan Antropometri: mengkaitkan dosis berdasarkan faktor antropometri seperti tinggi badan, berat badan dan dosis per kilogram tubuh.
- Evaluasi Interaksi Obat: memastikan apakah pasien sedang dalam pengobatan lain dan meminimalkan resiko interaksi negatif antar obat. Penyesuaian dosis akan dipertimbangkan jika perlu.
- Pemantauan Respon Pasien: dokter dapat menyesuaikan dosis jika diperlukan berdasarkan perubahan kondisi pasien. Apa dan kapan perlu menghentikan, mengganti atau modifikasi dosis.
Jadi penting sekali menaati aturan minum ya. Rumusan 3×1 atau 2×1 dalam jangka waktu tertentu tidak hanya pakem atau hafalan dokter, namun sudah melalui pertimbangan tersebut. Jumlah dosis dan lama pengobatan yang dokter tentukan adalah batasan yang paling minimal menimbulkan risiko ketergantungan.
Bolehkah Konsumsi Obat Kimia dan Tradisional Bersamaan?
Jawabannya bisa boleh, bisa tidak.
Sebaiknya konsultasikan dengan dokter atau apoteker. Ada beberapa kombinasi obat kimia dan tradisional yang berpotensi memengaruhi efektivitas dan keamanan pengobatan. Interaksi ini dapat memengaruhi penyerapan, metabolisme, atau pengeluaran obat dari tubuh bahkan efek samping yang tidak diinginkan. Dalam beberapa kasus, kombinasi obat dapat meningkatkan risiko toksisitas atau efek yang tidak diinginkan pada organ tertentu.
Tipsnya, pastikan bahwa obat tradisional yang akan dikonsumsi aman dan berkualitas. Beberapa obat tradisional mungkin mengandung bahan-bahan yang belum teruji secara ilmiah atau memiliki potensi bahaya. Untuk memudahkan, cek logo pada kemasan obat tradisional. Mirip seperti obat kimia, ada 3 logo untuk obat tradisional yaitu tunas untuk jamu, 3 bintang untuk herbal dan salju untuk fitofarmaka. Keberadaan logo ini menandakan obat tersebut sudah teruji aman dan layak edar.
Bolehkah Stop Obat Kapan Saja?
Tidak dianjurkan untuk stop obat sewaktu-waktu, sangat diharamkan untuk antibiotik. Memang untuk beberapa golongan obat simptomatis seperti anti nyeri dan demam dapat berhenti ketika gejala mereda. Namun untuk kondisi infeksi yang memerlukan antibiotik wajib kita teruskan. Tidak bisa ditawar! Mengapa?
Pertama, memastikan semua bakteri penyebab infeksi telah benar-benar mati. Menghentikan obat sebelum waktunya yang ditentukan dapat menyebabkan beberapa bakteri yang lebih tahan terhadap antibiotik tetap bertahan hidup. Kedua, meningkatkan risiko kambuh dan kebal. Bakteri yang masih hidup atau menjadi resisten menyebabkan kondisi menjadi lebih sulit diobati. Bahkan perlu naik golongan obat yang memerlukan biaya pengobatan yang lebih tinggi dan waktu lebih lama.
Terakhir, dokter perlu mengevaluasi respons tubuh terhadap pengobatan sebelum memutuskan untuk menghentikan obat. Evaluasi ini diperlukan untuk meminimalkan risiko ketergantungan dan penyebaran infeksi lebih lanjut.
(Dokter Via)