Barbie The Movie: A Love Letter to Self-Discovery

Barbie The Movie: A Love Letter to Self-Discovery

Warning: untuk yang belum menonton, tulisan ini akan ada sedikit spoiler. So, be prepared!

“Ah, paling ini juga lovey dovey-nya Barbie dan Ken.” Itulah kalimat saya ketika melihat trailer Barbie the Movie dan juga ketika membeli tiket menonton. Yes, I put my expectation in that low level. But surpriiiiseee…. ekspektasi saya bubar jalan.

Mood yang terbangun dari awal menonton sungguh menyenangkan, meskipun di awal saya cukup pusing melihat banyaknya warna Pink dalam berbagai shades. Diceritakan bahwa kehidupan Barbie sangat manis, sempurna bahkan sang narrator pun sampai menyimpulkan bahwa “Thanks to Barbie, all problems of feminism and equal rights have been solved.”

Tapi ternyata, kalimat bagus tadi tidak bisa membuat seorang Stereotype Barbie tidur dengan tenang. Ketika sedang asyik menari di sebuah pesta yang dibuatnya, Barbie tiba-tiba berpikir soal kematian, yang membuat seluruh undangan berhenti menari. Kemudian keesokan harinya dia terbangun dengan perasaan tidak enak, nafas yang bau, air shower yang dingin, sarapan roti bakar yang hangus, susu yang sudah kadaluarsa, dan yang menjadi penutup sempurna adalah Barbie mendapati kalau kakinya datar, bukan lagi jinjit seperti sediakala sebagaimana default setting-nya.

Pelan tapi pasti, Barbie merasa ada yang salah dengan keberadaannya. The problem has no name. Begitu awalnya Betty Friedan -seorang feminis Amerika- memberikan judul masalah pada perempuan yang bingung dengan keberadaannya. Awalnya Freidan melihat seorang perempuan yang sudah sukses, berumah tangga, memiliki anak, namun lambat laun Ia malah dikenal sebagai Nyonya A, Ibu A, atau Ibunya si X. Mungkin Barbie tidak merasakan menikah atau memiliki anak, tapi ia menyadari bahwa ada masalah pada keberadaan dirinya yang tidak utuh.

Film pun bergulir sampai akhirnya Barbie pergi ke dunia nyata Bersama dengan Ken, and that was the place where the magic happened. Pencarian jati diri seorang Barbie (dan juga Ken) yang pada akhirnya masing-masing menemukan sebuah titik terang. Ternyata, Barbie terhubung dengan seorang Ibu yang sedang bermasalah di kesehariannya, mulai dari ia benci pekerjaannya, harus menghadapi suaminya yang alergi matahari, hingga rumitnya hubungan dengan sang anak remaja perempuannya. Keduanya terhubung dalam emosi mencari keberadaan diri dan fungsi sebagai manusia – terutama perempuan. Dan Ken… mendapatkan kesimpulan bahwa ternyata di luar Barbie Land, laki-laki itu menjadi penguasa, memimpin dunia, menjalani patriarki (seutuhnya) namun diselipkan secara diam-diam di keseharian, sehingga perempuan tidak menyadari bahwa laki-laki mengontrol perempuan. Bagi Ken, patriarti serta arogansi laki-laki di dunia nyata adalah sebuah konsep hidup ideal, yang pada akhirnya dibawanya ke Barbie Land, dan Ia pun mengubahnya menjadi Ken Dom, Ken Kingdom – kerajaan Ken.

Sebagai perempuan, sering sekali dipandang sebelah mata, sering sekali menjadi second layer dari laki-laki. The Second Sex, begitu Simone de Beauvoir menyebutnya. Perempuan ditentukan keberadaannya oleh kuasa laki-laki. Seberapapun mandiri dan suksesnya Barbie di Barbie Land, namun ternyata ketika di dunia nyata ia mendapati bahwa perempuan tidak bisa menjadi segalanya, karena segalanya ditentukan oleh keberadaan laki-laki. Bahwa perempuan harus bekerja lebih keras untuk bisa berada di level yang sama dengan laki-laki.

Kebingungan demi kebingungan pun dilalui Stereotype Barbie sampai berujung pada sebuah pertanyaan, akan sampai di mana kebingungan ini dan apa akhir cerita seorang Stereotype Barbie?

I created you, so you won’t have an ending,” begitu ucapan seorang Ruth Handler, sang pencipta Barbie. Banyak hal baik lahir dari ketidaknyamanan di dalam hidup. Hal ini menyadari kita bahwa manusia sangat kreatif, sehingga ia pun membuat sesuatu yang bisa menyenangkan diri untuk bernegosiasi dengan ketidaknyamanan hidup. Bahwa ternyata, dengan perubahan yang terus ada di dalam kehidupan, akan timbul banyak ketidaknyamanan di mana kita harus terus berdamai dengan hal tersebut agar hidup terus berjalan dan tidak berhenti di satu titik.

Seringnya, pilihan hidup suka membuat kita bingung tentang apa yang harus kita ambil. Pilihan hidup, konsekuensi dan tanggung jawab seperti beli paket hemat restoran cepat saji: Makanan sama minuman gak dijual terpisah. Dari Stereotype Barbie kita belajar bahwa memilih hidup sebagai manusia akan selalu sampai di sebuah titik, di mana untuk sampai ke sebuah titik tadi ada banyak perjalanan yang harus dilalui dan seringnya tidak nyaman. Dan dari ketidaknyamanan itu lah manusia akan terus berkreasi melahirkan hal-hal baru untuk berdamai dengan ketidaknyamanan dan dinamika hidup.

Hidup akan terus berjalan dengan dinamika yang ada, di mana kita sebagai manusia memiliki banyak pilihan untuk menjalaninya, termasuk proses pencarian jati diri, tujuan hidup, dan apa yang akan kita lakukan untuk mengisi hidup ini. Kebingungan Barbie akan keberadaannya telah menyeretnya ke dalam bagian yang lebih dalam tentang hidup. Bahwa keberadaan kita, sebagai manusia, tidak ditentukan oleh keberadaan orang lain, uang yang kita punya, profesi atau jabatan kita di kantor, pekerjaan pasangan kita, validasi orang lain akan kemampuan kita… No! Kita adalah diri kita. We, ourselves. Diri yang utuh, diri yang menerima seluruh kelebihan, kekurangan dan keluarbiasaan yang kita punya. Kadang, kalau mainnya terlalu jauh, suka lupa pulang. Seperti yang diceritakan Yura Yunita di lagunya, “Jalan yang jauh, jangan lupa pulang,” Simply karena kalau lupa jalan pulang, nantinya akan bingung dengan diri sendiri. Kalau terlalu Lelah mengejar dunia, mungkin kita perlu pulang ke diri sendiri. Gak perlu healing jauh-jauh ke Eropa, blusukan healing ke Bali… Nope! Sesederhana dengan bertanya ke diri sendiri, “Apa kabar? Are you happy?”

Seringnya, ketika kita berada dalam fase mempertanyakan hidup, kita selalu menyalahkan keadaan (dan mungkin orang lain). Tapi sebenarnya, elemen eksternal tidak selalu membuat semuanya terlihat shining, shimmering, splendid. Ibaratnya, mau pakai skincare high end brand tapi makannnya jorok, tetep gak akan glowing kan? Jadi, sebelum melempar anak panah ke orang lain dan menyalahkan mereka atas ketidaknyamanan yang kita rasakan, mungkin ada baiknya melihat ke dalam diri, double-check apa yang harus diperbaiki dan mungkin, membuat versi Barbie sendiri.

So, which one do you want? Being an ordinary Barbie, Stereotype Barbie, or your own version of Barbie that always has a fun way to live the life? It’s your call!

(Iriel Parmato Henry)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Yuk Daftar di Digital Bulletin Join

X